Pada jaman dahulu di tanah Gayo, Aceh – hiduplah sebuah
keluarga petani yang sangat miskin. Ladang yang mereka punyai pun hanya sepetak
kecil saja sehingga hasil ladang mereka tidak mampu untuk menyambung hidup
selama semusim, sedangkan ternak mereka pun hanya dua ekor kambing yang kurus
dan sakit-sakitan. Oleh karena itu, untuk menyambung hidup keluarganya, petani
itu menjala ikan di sungai Krueng Peusangan atau memasang jerat burung di
hutan. Apabila ada burung yang berhasil terjerat dalam perangkapnya, ia akan
membawa burung itu untuk dijual ke kota.
Suatu ketika, terjadilah musim kemarau yang amat dahsyat.
Sungai-sungai banyak yang menjadi kering, sedangkan tanam-tanaman meranggas
gersang. Begitu pula tanaman yang ada di ladang petani itu. Akibatnya, ladang
itu tidak memberikan hasil sedikit pun. Petani ini mempunyai dua orang anak.
Yang sulung berumur delapan tahun bernama Sulung, sedangkan adiknya Bungsu baru
berumur satu tahun. Ibu mereka kadang-kadang membantu mencari nafkah dengan
membuat periuk dari tanah liat. Sebagai seorang anak, si Sulung ini bukan main
nakalnya. Ia selalu merengek minta uang, padahal ia tahu orang tuanya tidak
pernah mempunyai uang lebih. Apabila ia disuruh untuk menjaga adiknya, ia akan
sibuk bermain sendiri tanpa peduli apa yang dikerjakan adiknya. Akibatnya,
adiknya pernah nyaris tenggelam di sebuah sungai.
Pada suatu hari, si Sulung diminta ayahnya untuk pergi
mengembalakan kambing ke padang rumput. Agar kambing itu makan banyak dan
terlihat gemuk sehingga orang mau membelinya agak mahal. Besok, ayahnya akan
menjualnya ke pasar karena mereka sudah tidak memiliki uang. Akan tetapi,
Sulung malas menggembalakan kambingnya ke padang rumput yang jauh letaknya.
“Untuk apa aku pergi jauh-jauh, lebih baik disini saja
sehingga aku bisa tidur di bawah pohon ini,” kata si Sulung. Ia lalu tidur di
bawah pohon. Ketika si Sulung bangun, hari telah menjelang sore. Tetapi kambing
yang digembalakannya sudah tidak ada. Saat ayahnya menanyakan kambing itu
kepadanya, dia mendustai ayahnya. Dia berkata bahwa kambing itu hanyut di
sungai. Petani itu memarahi si Sulung dan bersedih, bagaimana dia membeli beras
besok. Akhirnya, petani itu memutuskan untuk berangkat ke hutan menengok
perangkap.
Di dalam hutan, bukan main senangnya petani itu karena melihat
seekor anak babi hutan terjerat dalam jebakannya. “Untung ada anak babi hutan
ini. Kalau aku jual bias untuk membeli beras dan bisa untuk makan selama
sepekan,” ujar petani itu dengan gembira sambl melepas jerat yang mengikat kaki
anak babi hutan itu. Anak babi itu menjerit-jerit, namun petani itu segera
mendekapnya untuk dibawa pulang. Tiba-tiba, semak belukar di depan petani itu
terkuak. Dua bayangan hitam muncul menyerbu petani itu dengan langkah berat dan
dengusan penuh kemarahan. Belum sempat berbuat sesuatu, petani itu telah
terkapar di tanah dengan tubuh penuh luka. Ternyata kedua induk babi itu amat
marah karena anak mereka ditangkap. Petani itu berusaha bangkit sambil mencabut
parangnya. Ia berusaha melawan induk babi yang sedang murka itu.
Namun, sungguh malang petani itu. Ketika ia mengayunkan
parangnya ke tubuh babi hutan itu, parangnya yang telah aus itu patah menjadi
dua. Babi hutan yang terluka itu semakin marah. Petani itu lari tunggang
langgang dikejar babi hutan. Ketika ia meloncati sebuah sungai kecil, ia
terpeleset dan jatuh sehingga kepalanya terantuk batu. Tewaslah petani itu
tanpa diketahui anak istrinya. Sementara itu – di rumah isri petani itu sedang
memarahi si Sulung dengan hati yang sedih karena si Sulung telah membuang segenggam
beras terakhir yang mereka punyai ke dalam sumur. Ia tidak pernah membayangkan
bahwa anak yang telah dikandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari dan
dirawat dengan penuh cinta kasih itu, kini menjadi anak yang nakal dan selalu
membuat susah orang tua.
Karena segenggam beras yang mereka miliki telah dibuang si
Sulung ke dalam sumur maka istri petani itu berniat menjual periuk tanah
liatnya ke pasar. “Sulung, pergilah ke belakang dan ambillah periuk tanah liat
yang sudah ibu keringkan itu. Ibu akan menjualnya ke pasar. Jagalah adikmu
karena ayahmu belum pulang,” ucapnya. Akan tetapi, bukan main nakalnya si
Sulung ini. Dia bukannya menuruti perintahnya ibunya malah ia menggerutu.
“Buat apa aku mengambil periuk itu. Kalau ibu pergi, aku
harus menjaga si Bungsu dan aku tidak dapat pergi bermain. Lebih baik aku
pecahkan saja periuk ini,” kata si Sulung. Lalu, dibantingnya kedua periuk
tanah liat yang menjadi harapan terakhir ibunya untuk membeli beras. Kedua
periuk itu pun hancur berantakan di tanah.
Bukan main terkejut dan kecewanya ibu si Sulung ketika
mendengar suara periuk dibanting. “Aduuuuuh…..Sulung! Tidak tahukah kamu bahwa
kita semua butuh makan. Mengapa periuk itu kamu pecahkan juga, padahal periuk
itu adalah harta kita yang tersisa,” ujar ibu si Sulung dengan mata penuh air
mata. Namun si Sulung benar-benar tidak tahu diri, ia tidak mau makan pisang.
Ia ingin makan nasi dengan lauk gulai ikan. Sungguh sedih ibu si Sulung
mendengar permintaan anaknya itu. “Pokoknya aku tidak mau makan pisang! Aku bukan
bayi lagi, mengapa harus makan pisang,” teriak si Sulung marah sambil
membanting piringnya ke tanah.
Ketika si Sulung sedang marah, datang seorang tetangga mereka
yang mengabarkan bahwa mereka menemukan ayah si Sulung yang tewas di tepi
sungai. Alangkah sedih dan berdukanya ibu si Sulung mendengar kabar buruk itu.
Dipeluknya si Sulung sambil menangis, lalu berkata “Aduh, Sulung, ayahmu telah
meninggal dunia. Entah bagaimana nasib kita nanti,” ratap ibu si Sulung. Tetapi
si Sulung tidak tampak sedih sedikit pun mendengar berita itu. Bagi si Sulung,
ia merasa tidak ada lagi yang memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang
tidak disenanginya.
“Sulung, ibu merasa tidak sanggup lagi hidup di dunia ini.
Hati ibu sedih sekali apabila memikirkan kamu. Asuhlah adikmu dengan baik. Ibu
akan menuju ke Batu Belah. Ibu akan menyusul ayahmu,” ucap ibu si Sulung. Ibu
si Sulung lalu menuju ke sebuah batu besar yang menonjol, yang disebut orang
Batu Belah.
Sesampainya
di sana, ibu si Sulung pun bernyanyi,
“Batu belah
batu bertangkup.
Hatiku
alangkah merana.
Batu belah
batu bertangkup.
Bawalah aku
serta.”
Sesaat kemudian, bertiuplah angin kencang dan batu besar itu
pun terbelah. Setelah ibu si Sulung masuk ke dalamnya, batu besar itu merapat
kembali. Melihat kejadian itu, timbul penyesalan di hati si Sulung. Ia menangis
keras dan memanggil ibunya sampai berjanji tidak akan nakal lagi, namun
penyesalan itu datangnya sudah terlambat. Ibunya telah menghilang ditelan Batu
Belah.
========
Tidak ada komentar:
Posting Komentar